Tuesday, April 20, 2010

Galangan Kapal: modal besar slow yielding, itu sebabnya


Masih Dipandang Sebelah Mata
Sunday, 18 April 2010
INDUSTRI perkapalan di Indonesia berpotensi memiliki daya saing di dunia. Setidaknya hal itulah yang diungkapkan Ikatan Perusahaan Industri Kapal dan Sarana Lepas Pantai Indonesia (Iperindo).

Di mana pertumbuhan permintaan bangunan kapal baru di Indonesia berkembang secara signifikan.Tetapi, permintaan yang berkembang tersebut tidak bisa diimbangi dengan kemampuan memproduksi kapal baru. Meski pertumbuhan galangan kapal nasional (galkapnas) didukung Inpres 5/2005 dan UU 17/ 2008,tetap saja perkembangannya belum sesuai dengan yang diharapkan. Menurut Iperindo, ada sejumlah faktor yang menjadi penghambat perkembangan galkapnas. Di antaranya faktor kebijakan moneter dan fiskal, masih sulitnya mengakses dana perbankan, dan tingginya bunga yang dibebankan kepada industri perkapalan. Menurut dosen Fakultas Teknik Kelautan Universitas Dharma Persada Donny Achiruddin, harga kapal yang dihasilkan industri dalam negeri kurang kompetitif dibanding sejumlah negara, termasuk negara tetangga.

Hal ini disebabkan industri galangan kapal harus membayar pajak dua kali lipat. Sebagian besar komponen (sekitar 70–80% ) masih impor dari luar negeri. Pada proses impor perusahaan dibebankan pajak sekitar 10%. Pajak 10% juga diwajibkan ketika penjualan kapal. Hal ini berbeda dengan sejumlah negara lain yang tidak menerapkan dua kali pajak. ”Pembebanan dua kali pajak pada industri perkapalan tentunya akan membuat harga kapal di dalam energi lebih besar dibanding negara lain,”kata Donny. Masalah lain yang perlu mendapat perhatian adalah keterlibatan pembiayaan perbankan.Menurut Donny,selama ini perbankan enggan menyalurkan kredit kepada industri perkapalan. Mereka beranggapan, industri perkapalan penuh risiko karena kontrol terhadap industri ini sulit.

”Mereka sepertinya beranggapan kapal mudah saja hilang di laut,” tukas Donny. Selain itu, jika mereka mengajukan kredit, yang menjadi jaminan untuk pihak bank harus berupa barang yang ada di darat, seperti tanah. Sedangkan kekayaan di laut seperti kapal tidak bisa dijadikan jaminan.Artinya, dana dari perbankan pun tidak mudah turun untuk industri perkapalan. Akibatnya, sering kali perusahaan yang akan membuat kapal harus membebankan dana awal pada pihak pemesan, misalnya hingga 50% dari dana pembuatan kapal. ”Hal ini cukup memberatkan. Padahal, perkapalan adalah industri padat karya,” kata alumnus Institut Teknologi Sepuluh November ini. Kendala itu ditambah dengan besarnya bunga yang harus dibebankan kepada industri perkapalan. Dalam hal ini, berlaku mekanisme pasar. Besarnya permintaan modal kredit perbankan dari industri perkapalan yang tidak diimbangi dengan penyediaan dana menyebabkan bunga yang dipatok perbankan pun besar.Akibatnya, berimbas pada daya saing industri perkapalan Indonesia.

Deputi Menko Perekonomian Bidang Industri dan Perdagangan Edy Putra Irawandy juga mengakui, pendanaan untuk investasi dan modal kerja belum mendapatkan dukungan perbankan. Iklim usaha juga tidak kondusif. Dia mencontohkan, untuk industri pelayaran telah dibebaskan beban PP 10% tetapi bahan baku dan komponen kapal untuk industri perkapalan tetap dikenakan. ”Sehingga, menjadi biaya bagi industri perkapalan. Dan ini, akhirnya membuat tarif dok dan perkapalan menjadi tidak kompetitif,” kata Edy. Selain dua faktor di atas, fasilitas yang dimiliki industri sebagian besar sudah tua (out of date). Masalah lain adalah selama ini lahan yang digunakan industri galpanas sebagian besar berada di daerah kerja pelabuhan dan hak pengelolaan lahan (HPL)-nya dikuasai PT Pelindo.

Iperindo berharap, dengan telah terbitnya UU 17/2008 tentang pelayaran dan diikuti adanya PP 61/2009 tentang kepelabuhan diharapkan penguasaan lahan daratan dan perairan yang selama ini HPLnya dikuasai PT Pelindo, konsesinya akan beralih kepada pemerintah dalam otoritas pelabuhan. Direktur The National Maritime Institute (Namarin) Siswanto Rusdi mengatakan, usia peralatan dalam industri perkapalan sudah tua menimbulkan sejumlah permasalahan. Misalnya, kapasitas penggunaan alat tersebut menjadi sangat terbatas. Dia mencontohkan crane, alat yang dipergunakan untuk memindahkan bahan berat tersebut, dalam industri kapal seperti baja,banyak yang sudah usang.Akibatnya, daya angkut untuk mengangkat sesuatu pada industri perkapalan menjadi terbatas dan membutuhkan waktu lama.

Contoh lain adalah alat untuk tempat perbaikan kapal juga banyak yang sudah uzur.Hal ini akan berdampak pada daya saing industri perkapalan dalam negeri.Apalagi industri perkapalan dalam negeri kebanyakan didominasi pada perbaikan kapal daripada pembuatan kapal baru. Sekalipun ada pembuatan kapal baru,umumnya kapal-kapal kecil misalnya kapal berlambung fiber. Kendala lain adalah masih sangat tergantungnya industri perkapalan pada HPL yang ”numpang” pada PT Pelindo. Menurut Siswanto, dengan status ”numpang” ini membuat industri perkapalan dengan mudah dianaktirikan. Misalnya, jika ada antrean kapal antara dalam proses perbaikan dan bongkar muat, tentu dengan mudah Pelindo mendahulukan yang bongkar muat,yang tentunya lebih menghasilkan pemasukan.

Akibatnya,kapal yang akan mengalami perbaikan tidak mudah masuk pada galangan kapal yang memang masih berada di areal pelabuhan tersebut. Padahal,jika ada kelebihan keleluasaan lahan di pelabuhan bukan tidak mungkin industri kapal lebih berkembang. Industri perkapalan bisa lebih terkumpul dalam satu lokasi dan memudahkan proses pembuatan kapal. Misalnya, pabrik atau pemasok permesinan, galangan kapal, pabrik rantai kapal,dan lainnya bisa berkumpul di satu tempat yang menjadi kluster maritim. Saat ini industri perkapalan di Indonesia masih terpisah-pisah dan lokasinya berjauhan. Antara galangan, permesinan, dan bahan tidak di satu tempat yang berdekatan sehingga akan membuat cost yang lebih besar.

Berbeda misalnya dengan Singapura di mana tempatnya tidak berjauhan.Misalnya,perusahaan galangan kapal milik Singapura ada di Batam,kemudian mesinnya ada di Singapura, begitu juga sejumlah kebutuhan industri kapal lainnya yang jaraknya berdekatan. Hal ini membuat daya saing bisa lebih ditingkatkan. Karena itu, Iperindo mengharapkan agar daya saing industri galangan kapal nasional bisa lebih meningkat perlu adanya sejumlah dukungan dari pemerintah.Seperti dukungan permodalan di dalam proyek pembangunan kapal, juga adanya suku bunga khusus bagi industri perkapalan dan memberikan insentif pajak.Perbankan juga diharapkan tidak memberlakukan pengenaan collateral 135–150% dari jumlah pinjaman.

Iperindo juga mengharapkan perlu memperluas PP 38/2003 agar industri galangan kapal juga mendapatkan PPN sama seperti pada perusahaan pelayaran. Harapan lain adalah perlu pelaksanaan equal treatment antara impor kapal (seutuhnya) dengan impor komponen kapal. (abdul malik/islahuddin) 

No comments:

Post a Comment