Wednesday, April 21, 2010

Tambahan pengetauan soal MARITIM


Indonesia Jangan Menyerah Sekalipun Sulit Implementasikan Inpres Pada Tahun 2011 Mendatang

Jakarta (Berita): Indonesia diharapkan jangan langsung menyerah sekalipun meskipun sulit mengimplemantasikan Instruksi Presiden (Inpres) No 5 tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional pada tahun 2011.
Oleh sebab itu pemerintah sebaiknya bekerja sama dengan pihak swasta untuk mengimplementasikan Inpres No tahun 2005. Sebab dalam Inpres itu, sejak awal tahun 2011, seluruh kapal pengangkut barang (cargo) maupun penangkap ikan harus menggantikan posisi kapal berbendera asing yang selama ini menguasai 65 persen angkutan cargo Indonesia.
Untuk diketahui, industri galangan kapal yang ada saat ini hanya sekitar 200-an dan yang operasional hanya 100-an.  Karenanya Indonesia harus menambah alokasi APBN untuk segera membangun industri komponen perkapalan dan mengepektifkan seluruh industri galangan kapal nasional menjalankan perintah Inpres No 5/2005 tersebut.
“Produk domestik kita selama ini diangkut kapal berbendera asing. Nah tahun 2011 sesuai Inpres, harus dialihkan ke kapal milik Indonesia. Tetapi sampai sekarang kita belum memiliki armada. Produk industri kita 65 persen diangkut kapal asing. Bayangkan kalau itu diangkut kapal kita sendiri, rakyat kita pasti semakin sejahtera,” ungkap Direktur Industri Maritim dan Jasa Keteknikan Departemen Perindustrian Ir Soerjono MM kepada wartawan di kantornya, Senin [08/06].
Menurut Soerjono, Indonesia yang dikenal sebagai negara maritim dan memiliki ribuan pulau-pulau yang tersebar di seantero nusantara memerlukan ribuan kapal pengangkut produk ekspor. Namun yang tidak kalah penting adalah memproduksi  kapal penangkap ikan (standaerdize fishing vessel) dan kapal patroli lainnya.
“Saya itu siap kalau disuruh jongkok. Asalkan dibangun industri komponen perkapalan di Indonesia. Anda bisa bayangkan, negara kita ini negara maritim. Lautnya tersebar di mana-mana. Tapi kapal patroli ikan kita (DKP) cuma 23 unit. Makanya ikan-ikan kita dijarah oknum asing (ilegal fishing). Harusnya kapal patroli kita itu minimal 80 unit. Ironisnya lagi, meski negara maritim, tapi rakyat kita kekurangan ikan,” tambahnya.
Dia mengakui, Indonesia saat ini membutuhkan sekitar 5.000 unit kapal penangkap ikan berteknologi canggih dan memiliki daya jelajah hingga ke laut dalam, seperti  seri Standaerdize Fishing Vessel berbobot 70 DWT.
Untuk memproduksi kapal itu sekaligus membangun industri komponen memerlukan biaya sangat besar. Itulah yang membuat pemerintah dan swasta tidak mampu membangunnya. Kendati demikian, pejabat eselon dua kelahiran Gresik (Jatim) tetap berharap Indonesia harus memiliki industri perkapalan mutahir guna mengamankan laut dari aksi penjarahan maupun aksi-aksi provokasi internasional seperti kasus Pulau Ambalat.
Atas kecintaannya terhadap keamanan laut Indonesia, pejabat satu ini memutar otaknya. Dia pun rela mondar-mandir menapaki pintu ke pintu yang lainnya untuk menggugah para bohir agar bersedia membangun industri komponen perkapalan berstandar internasional di Indonesia seperti milik Hyunday Korea Selatan, umpamanya.
“Saya ke sana ke mari dan sudah bertemu dengan para bohir seperti Direksi Pertamina, Direksi BP Migas. Bohir-bohir  itu sangat well come dan antusias. Kita tinggal menunggu waktu kapan dilakukan. Saya berharap Indonesia bisa mencontoh Korea selatan dan Jepang.
Mereka sebelum populer di industri otomotif seperti sekarang, dulunya juga bergerak di industri komponen perkapalan. Itulah batu Korea dan jepang menuju sukses seperti sekarang. Kenapa kita tidak menirunya mereka,” imbuhnya.
Kapal-kapal penangkap ikan yang mendesak untuk dibuat di Indonesia, adalah kapal seri Standaerdize Fishing Vessel berbobot 70 DWT, lengkap reprigerator, cool storege seharga Rp12 juta dolar AS. Kapal ini memiliki daya jelajah sampai ke laut dalam.
“Kapal ini sangat bagus dan mampu menangkap ikan di laut dalam untuk menangkap ikan Tuna umpamanya. Kalau kapal ikan yang dipakai DKP hanya mampu beroperasi di 12 mil laut saja. Jadi kurang bagus lah,” ujarnya.
Selain itu, Soerjono juga mengingatkan supaya pemerintah dan swasta jangan sampai terlambat mengantisipasi Inpres No 5 tahun 2005. Pasalnya kalau terlambat, maka Indonesia akan kehilangan peluang emas. Sebab Arrest Of Ships dari International Marine Organization (IMO) sedang di ratifikasi di DPR RI. Konon kabarnya tinggal tanda tangan.
”Mata londo-londo itu mbelalak (nelotot). Kalau ratifikasi Arrest of Ships sudah ditandatangani, pasti jadi rebutan orang asing. Bisa-bisa Indonesia kecolongan. Oleh sebab itu, sebaiknya pemerintah dan swasta mempersiapkan diri dari sekarang,” imbaunya.
Asal tahu saja, di bidang agribisnis dan agroindustri, sektor perikanan termasuk salah satu penyumbang devisa negara nonmigas cukup besar bersama sektor kehutanan dan perkebunan. Sesuai dengan sasaran yang diharapkan dalam Rencana Strategis (Renstra) Pembangunan Kelautan dan Perikanan tahun 2005 – 2009, kontribusi sektor perikanan terhadap produk domestik bruto (PDB) pada tahun 2009 diharapkan mencapai 5,10%.
Kemudian dari sisi produksi perikanan sebanyak 9,7 juta ton, nilai ekspor perikanan US$5 miliar, konsumsi ikan penduduk 32,29 kg/kapita/tahun, dan
penyediaan kesempatan kerja kumulatif sebanyak 10,24 juta orang.
Selama ini pasar utama ekspor hasil perikanan Indonesia masih ditujukan ke Jepang, Uni Eropa dan AS dengan pangsa pasar masing-masing sebesar 26%, 14% dan 34%. Untuk negara-negara kawasan Asia Timur dengan pangsa pasar sekitar 20%, negara tujuan utama ekspor produk perikanan antara lain ke Korea Selatan, Thailand, Singapura, Hongkong dan Taiwan. (olo)

No comments:

Post a Comment