http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/03/04/16110469/industri.maritim.tak.berkembang
Semestinya Bisa Menjadi Andalan Ekonomi Nasional
Kamis, 4 Maret 2010 | 16:11 WIB
Surabaya, Kompas - Industri maritim sesungguhnya bisa menjadi andalan dalam perekonomian Indonesia. Namun, kebijakan pemerintah belum mendukung berkembangnya galangan kapal Indonesia. Padahal, ahli-ahli terus dilahirkan seperti dari Fakultas Teknik Perkapalan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.
Hal ini menjadi benang merah seminar bertajuk "Revitalisasi Industri Manufaktur Maritim" yang diselenggarakan dalam Semarak Mahasiswa Perkapalan 4 ITS, Rabu (3/3) di Surabaya.
Hadir sebagai narasumber dalam acara pada rangkaian kegiatan 50 Tahun Teknik Perkapalan ITS tersebut adalah Direktur Industri Maritim dan Jasa Keteknikan Direktorat Alat Transportasi dan Telematika Kementerian Perindustrian Soerjono, Sekretaris Jenderal Indonesia Shipbuilding and Offshore Association (Iperindo) Wing Wirjawan, Koordinator Pembangunan Kapal Pertamina Shipping Soebagjo H Moeljanto, serta Vice President PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Nasrizal Nazir.
"Industri maritim kita semestinya bisa menjadi andalan ekonomi nasional. Namun, kapasitas produksi kapal kita sangat sedikit, hanya 650.000 ton per tahun. Sementara China bisa mengirim 49 juta ton dalam setahun," kata Soerjono.
Padahal, kata Wing, prospek industri galangan kapal sangat menjanjikan. Selain menciptakan lapangan kerja yang besar, industri ini akan memberikan efek ganda ke industri lain. Ini ditambah institusi kepolisian dan militer sudah memberikan komitmen untuk membangun kapal-kapalnya.
Sepanjang 2005-2009, jumlah kapal di Indonesia bertambah 3.000 unit lebih. Maka pada akhir 2009, jumlahnya menjadi 9.064 kapal. Karena itu, kata Wing, potensi bisnis galangan kapal untuk reparasi juga besar.
Bea masuk
Sistem perpajakan yang ditetapkan pemerintah, kata Wing, juga tidak mendukung industri maritim. Selain pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10 persen dan bea masuk 10 persen, galangan kapal juga dikenakan pajak penghasilan. Bea masuk dan PPN impor bahan baku material untuk membangun kapal juga dikenakan, padahal kapal utuh diimpor tanpa bea masuk.
Galangan kapal juga dibebani lagi sewa lahan ke PT Pelindo. "Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2009 disebutkan, biaya sewa tanah untuk galangan kapal Rp 1.000 per meter persegi per tahun. Kenyataannya, PT Pelindo mengenakan jauh di atas itu. Di Tanjung Priok Rp 110.000 per meter persegi per tahun dan di Surabaya Rp 75.000 per meter persegi per tahun," tutur Wing.
Akibat tiadanya kebijakan pemerintah yang mendukung berkembangnya galangan kapal di Indonesia, biaya produksi kapal di Indonesia lebih tinggi 25-30 persen ketimbang kapal buatan luar negeri.
Ketua Himpunan Mahasiswa Teknik Perkapalan ITS Andik Eko Saputro mengutip Soebadjo yang menyebutkan selisih harga kapal impor dengan kapal buatan dalam negeri mencapai 10 juta dollar AS. Karena itu, harapan untuk menjalankan bisnis secara efektif dan cinta produk Indonesia seakan sulit beriringan. (INA)
http://118.97.61.233/imrk/index.php?option=com_content&view=article&id=72:perbankan-tak-perlu-ragu-kucurkan-kredit-ke-industri-maritim&catid=1:berita-terkini&Itemid=48
Perbankan Tak Perlu Ragu Kucurkan Kredit Ke Industri Maritim | | | |
WRITTEN BY ADMINISTRATOR |
MONDAY, 02 NOVEMBER 2009 07:13 |
Mingguan Maritim sebagai negara kepulauan, pertumbuhan sektor indusrti maritim di Indonesia, ternyata masih jauh dari harapan. Sektor industri ini hanya mampu menyum bang pendapatan domestik bruto (PDB) sebesar 1,6%. Padahal, di ne gara-negara maritim lainnya, seperti Jepang dan Korea Selatan, sektor industri maritim memegang peranan yang cukup dominan dalam PDB-nya. Salah satu faktor yang menyebab kan kurang maksimalnya peranan sektor industri maritim dalam men dukung perekonomian di Indonesia, akibat kurangnya dukungan per bankan nasional dalam mengucurkan kredit permodalan atau pembiayaan untuk menopang pertumbuhan industri ini. "Bayangkan saja, dari total Rpl.000 triliun kredit permodalan dan pembiayaan yang dikucurkan oleh perbankan nasional setiap ta hunnya, sektor industri maritim ha nya mendapatkan alokasi sebesar Rpl9 triliun. Artinya, angka terse but masih terlalu kecil dibanding kebutuhan kredit permodalan dan pembiayaan yang dibutuhkan sektor industYi maritim nasional," kata Di rektur Industri Maritim dan Jasa Ke teknikan (IMJK), Ditjen Industri Alat Transportasi dan Telematika (IATT), Departemen Perindustrian (Depe-rin), Soerjono. Menurut Soerjono, kekhawatiran kalangan perbankan nasional dalam memberikan kredit permodalan maupun pembiayaan untuk sektor industri maritim, sangat tidak ber alasan. Karena, rasio kredit macet (NPL) untuk pembiayaan sektor industri maritim pada saat ini, ter golong sangat kecil dibanding sek tor industri lainnya. "Kinerja sektor industri maritim selama ini, terbukti sangat aman dan tidak rentan terhadap krisis. Kalau kalangan perbankan takut atau khawatir ketika akan mem berikan kreditnya, kan bisa minta pendampingan saja dari para ahli keuangan yang mengerti seluk-beluk industri maritim nasional," tegas Soerjono. Dorong perbankan Tapi yang pasti, tekad Soerjono untuk mengembangkan industri maritim nasional - terutama dalam memberikan dorongan untuk mem peroleh modal kerja dari perbankan nasional bagi galangan kapal di dalam negeri - tidak akan luntur. Pasalnya, Direktorat IMJK kini tengah meng upayakan agar Bank BNI 1946 mau memberikan permodalan dan pem biayaan bagi pembangunan kapal-kapal baru. "Kalau Bank BTN dikhususkan un tuk pemberian kredit perumahan, Bank BRI untuk pedesaan, maka BNI 1946 bisa memberikan dukung an permodalan untuk perkapalan. Apalagi, lambang Bank BNI itu kan perahu layar," ucap Soerjono. Di sisi lain, lanjutnya, pemberian kredit kepada industri maritim do-mestic perlu dioptimalkan, karena Inpres No. 2/2009 tentang Pening katan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN) sudah mengamanat kan itu. Instansi seperti Pol Air, Bea dan Cukai, Departemen Perhubung an, Departemen Kelautan dan Per ikanan, Departemen Pertahanan, Departemen Energi Sumber Daya Mineral, PT Pertamina, BP Migas dan lainnya, pasti membutuhkan armada kapal menggunakan anggaran pe merintah. Adanya niat BP Migas untuk membuat kapal-kapal baru di dalam negeri, itu adalah terobosan. Kemu dian diikuti oleh PT Pertamina yang memesan dua unit kapal tanker 3.500 DWT senilai US$24 juta dari galangan PT Daya Radar Utama (DRU). "Jika instansi pemerintah lain mengikuti jejak Pertamina dan BP Migas, saya yakin industri maritim kita akan maju. Tanpa majunya in dustri maritim suatu negara, maka industri manufaktur dan industri lain nya juga bakal tidak bisa berkem bang," ujar Soerjono seraya menye but kemampuan galangan nasional telah mampu membuat kapal 50.000 DWT. Yang berat, tambahnya, perbank an belum mengubah persyaratan pinjaman yang cukup berat, yakni nilai collateral (jaminan) sebesar 150% dan debt equity ratio 65-35%. Alasannya, industri ini berisiko tinggi, lambat dalam pengembalian pinjaman dan memiliki kredibilitas rendah. Sebab, bagi perbankan, ka pal bukan aset yang likuid. "Karena itu, kita perlu meyakinkan dan melindungi perbankan. Caranya dengan pendampingan dari para ahli yang mengetahui seluk beluk keu angan industri maritim. Saya kira perbankan nasional tidak perlu ragu ' dan khawatir, apalagi setiap proyek i pemerintah itu sudah ada alokasi anggarannya," ucap Soerjono. |
| |
Government, private firms build shipbuilding industrial cluster The government, in partnership with private companies, is constructing an industrial cluster for shipbuilding on 400 hectares of land in Lamongan, East Java.
The cluster, estimated to be worth Rp5.9 trillion, will have the capacity to produce two large vessels and repair 100 vessels a year.
The total investment will include the construction of production facilities, supporting infrastructure and public facilities.
Soerjono, director for Maritime Industry and Engineering Services at the Industry Ministry, said the government would control 26.6% of the total investment, while the East Java administration would control 2.8%.
"In that cluster, there will be six 50,000-DWT shipbuilders, 14 10,000-DWT shipbuilders and supporting facilities," Soerjono said Thursday.
Budi Darmadi, Director General for Transportation, Telecommunication and IT Industries at the ministry, said the cluster would commence operation next year, starting with the production of small vessels.
He said the existing national capacity of 165,000 DWT per annum would be unable to meet increasing demand predicted to peak at 500,000 DWT in the next five years as an influx of orders was expected from Asia and Europe.
Darmadi added annual domestic demand amounted to 590 general cargo ships, including 50 container ships, 12 bulk ships, 70 tugboats, 44 passenger ships, 80 fishing vessels and 25 roll-on/roll-off vessels.
The government investment is being made through state-owned PT Dok & Perkapalan Surabaya (DPS). The rest of the investment, 70.8%, is divided among three private investors: PT Dok Pantai Lamongan, PT Lamongan Industrial Shorebase and PT Lamongan Marine Industry.
The new cluster in Lamongan will support the ongoing operation of another shipbuilding cluster in Surabaya - the Surabaya Shipbuilding Industry Cluster (KIKAS), in operation since 2006.
The cluster was established in Surabaya under the auspices of the Industry Ministry.
Currently, the core members are shipbuilders including state-owned PT PAL and privately owned DPS, PT Dumas Shipyard, PT Adiluhung and PT Ben Santosa.
Source : Indonesian Ministry of Finance. |
YOU ARE HERE: HOME / EKONOMI / INDONESIA JANGAN MENYERAH SEKALIPUN SULIT IMPLEMENTASIKAN INPRES PADA TAHUN 2011 MENDATANG
Indonesia Jangan Menyerah Sekalipun Sulit Implementasikan Inpres Pada Tahun 2011 Mendatang
Jakarta (Berita): Indonesia diharapkan jangan langsung menyerah sekalipun meskipun sulit mengimplemantasikan Instruksi Presiden (Inpres) No 5 tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional pada tahun 2011.
Oleh sebab itu pemerintah sebaiknya bekerja sama dengan pihak swasta untuk mengimplementasikan Inpres No tahun 2005. Sebab dalam Inpres itu, sejak awal tahun 2011, seluruh kapal pengangkut barang (cargo) maupun penangkap ikan harus menggantikan posisi kapal berbendera asing yang selama ini menguasai 65 persen angkutan cargo Indonesia.
Untuk diketahui, industri galangan kapal yang ada saat ini hanya sekitar 200-an dan yang operasional hanya 100-an. Karenanya Indonesia harus menambah alokasi APBN untuk segera membangun industri komponen perkapalan dan mengepektifkan seluruh industri galangan kapal nasional menjalankan perintah Inpres No 5/2005 tersebut.
“Produk domestik kita selama ini diangkut kapal berbendera asing. Nah tahun 2011 sesuai Inpres, harus dialihkan ke kapal milik Indonesia. Tetapi sampai sekarang kita belum memiliki armada. Produk industri kita 65 persen diangkut kapal asing. Bayangkan kalau itu diangkut kapal kita sendiri, rakyat kita pasti semakin sejahtera,” ungkap Direktur Industri Maritim dan Jasa Keteknikan Departemen Perindustrian Ir Soerjono MM kepada wartawan di kantornya, Senin [08/06].
Menurut Soerjono, Indonesia yang dikenal sebagai negara maritim dan memiliki ribuan pulau-pulau yang tersebar di seantero nusantara memerlukan ribuan kapal pengangkut produk ekspor. Namun yang tidak kalah penting adalah memproduksi kapal penangkap ikan (standaerdize fishing vessel) dan kapal patroli lainnya.
“Saya itu siap kalau disuruh jongkok. Asalkan dibangun industri komponen perkapalan di Indonesia. Anda bisa bayangkan, negara kita ini negara maritim. Lautnya tersebar di mana-mana. Tapi kapal patroli ikan kita (DKP) cuma 23 unit. Makanya ikan-ikan kita dijarah oknum asing (ilegal fishing). Harusnya kapal patroli kita itu minimal 80 unit. Ironisnya lagi, meski negara maritim, tapi rakyat kita kekurangan ikan,” tambahnya.
Dia mengakui, Indonesia saat ini membutuhkan sekitar 5.000 unit kapal penangkap ikan berteknologi canggih dan memiliki daya jelajah hingga ke laut dalam, seperti seri Standaerdize Fishing Vessel berbobot 70 DWT.
Untuk memproduksi kapal itu sekaligus membangun industri komponen memerlukan biaya sangat besar. Itulah yang membuat pemerintah dan swasta tidak mampu membangunnya. Kendati demikian, pejabat eselon dua kelahiran Gresik (Jatim) tetap berharap Indonesia harus memiliki industri perkapalan mutahir guna mengamankan laut dari aksi penjarahan maupun aksi-aksi provokasi internasional seperti kasus Pulau Ambalat.
Atas kecintaannya terhadap keamanan laut Indonesia, pejabat satu ini memutar otaknya. Dia pun rela mondar-mandir menapaki pintu ke pintu yang lainnya untuk menggugah para bohir agar bersedia membangun industri komponen perkapalan berstandar internasional di Indonesia seperti milik Hyunday Korea Selatan, umpamanya.
“Saya ke sana ke mari dan sudah bertemu dengan para bohir seperti Direksi Pertamina, Direksi BP Migas. Bohir-bohir itu sangat well come dan antusias. Kita tinggal menunggu waktu kapan dilakukan. Saya berharap Indonesia bisa mencontoh Korea selatan dan Jepang.
Mereka sebelum populer di industri otomotif seperti sekarang, dulunya juga bergerak di industri komponen perkapalan. Itulah batu Korea dan jepang menuju sukses seperti sekarang. Kenapa kita tidak menirunya mereka,” imbuhnya.
Kapal-kapal penangkap ikan yang mendesak untuk dibuat di Indonesia, adalah kapal seri Standaerdize Fishing Vessel berbobot 70 DWT, lengkap reprigerator, cool storege seharga Rp12 juta dolar AS. Kapal ini memiliki daya jelajah sampai ke laut dalam.
“Kapal ini sangat bagus dan mampu menangkap ikan di laut dalam untuk menangkap ikan Tuna umpamanya. Kalau kapal ikan yang dipakai DKP hanya mampu beroperasi di 12 mil laut saja. Jadi kurang bagus lah,” ujarnya.
Selain itu, Soerjono juga mengingatkan supaya pemerintah dan swasta jangan sampai terlambat mengantisipasi Inpres No 5 tahun 2005. Pasalnya kalau terlambat, maka Indonesia akan kehilangan peluang emas. Sebab Arrest Of Ships dari International Marine Organization (IMO) sedang di ratifikasi di DPR RI. Konon kabarnya tinggal tanda tangan.
”Mata londo-londo itu mbelalak (nelotot). Kalau ratifikasi Arrest of Ships sudah ditandatangani, pasti jadi rebutan orang asing. Bisa-bisa Indonesia kecolongan. Oleh sebab itu, sebaiknya pemerintah dan swasta mempersiapkan diri dari sekarang,” imbaunya.
Asal tahu saja, di bidang agribisnis dan agroindustri, sektor perikanan termasuk salah satu penyumbang devisa negara nonmigas cukup besar bersama sektor kehutanan dan perkebunan. Sesuai dengan sasaran yang diharapkan dalam Rencana Strategis (Renstra) Pembangunan Kelautan dan Perikanan tahun 2005 – 2009, kontribusi sektor perikanan terhadap produk domestik bruto (PDB) pada tahun 2009 diharapkan mencapai 5,10%.
Kemudian dari sisi produksi perikanan sebanyak 9,7 juta ton, nilai ekspor perikanan US$5 miliar, konsumsi ikan penduduk 32,29 kg/kapita/tahun, dan
penyediaan kesempatan kerja kumulatif sebanyak 10,24 juta orang.
Selama ini pasar utama ekspor hasil perikanan Indonesia masih ditujukan ke Jepang, Uni Eropa dan AS dengan pangsa pasar masing-masing sebesar 26%, 14% dan 34%. Untuk negara-negara kawasan Asia Timur dengan pangsa pasar sekitar 20%, negara tujuan utama ekspor produk perikanan antara lain ke Korea Selatan, Thailand, Singapura, Hongkong dan Taiwan. (olo)